Terjalinnya CINTA Dalam Gabungan Sebuah NAMA
Malam yang penuh ketengan bagi jiwa para insan, dingin rasanya kian mencekam yanyian burung malam pun terdengar ditelinga, memang malam yang selalu menghadirkan ketenangan pada jiwa manusia damai terasa bila malam dating menjelma.
Ketika adzan isya’ berkumandang Aku, Rudi, dan Agus pergi ke masjid guna untuk melaksanakan sholat isya’ setelah sholat isya’ seperti biasa kami pulang bersama sambil bercanda dan bicara ngalor-ngidul. “Dimas, aku mau ngamperin wiwik didepan ya…?” bisik rudi padaku. “Hati-hati ya, entar kena lagi” jawabku setengah mengejek. “Semuga kali ini gak” jawab Rudi. Sambil berusaha mengejar wiwik. “ya aku do’ain semuga kamu disemprot mamany lagi” timpal Agus agak nyaring, Sambil di ikuti derai tawaku. Memang sudah seminggu rudi mengatakan PDKT sama wiwik, tapi sungguh malang nasibnya kemarin malam dia cerita ke aku kalu dia kenah semmprot oleh mamanya wiwik saat ketahuan berduwaan saat berangkat ke masjid. “hei… ni anak bengong lagi” kata agus sambil menepuk pundakku. “eh ngga’ siapa yang bengong” “ah ngga’ ko’ Cuma lucu aja ingat waktu rudi cerita ke aku tadi malam kalau dia kena semprot mamanya wiwik” “kirain mikirin apa? Eh mas ehm… gimana menurut kamu kalau aku ehm… anu” agus tidak melanjutkan kata-katanya sehingga membuat penasaran. “anuan apa sich gus, ko’ pake’ gugup segala?” ehm… gini mas menurut kamu gimana kalau aku… pacaran sama ulfa?”. “apa? Pacaran sama ulfa?” tanyaku agak nyaring “ia mas kenapa kamu ngga’ suka ea?”. “ah ngga’ aku cuman kaget aja mendengarnya” ucapku lirih. “gimana menurut kamu mas Tanya agus”. “terserah kamu aja. “eh mampir dulu ngga’?” tanyaku karna tanpa terasa aku sudah berada di depan rumah. “engga’ makasih” jawab agus sambil terus berjalan. Aku masuk ke dalam rumah dengan perasaan ta’ menentu, pikiranku teringat ucapan agus barusan. Setelah berganti pakian aku keluar lagi mama yang sejak tadi duduk di kursi depan hanya berpesan pulangnya jangan malam-malam. Papa tidak tau kemana, mungkin lagi ke rumah om ari. Aku hanya mengiyakan pesan mama. Akupun melangkah menuju temen-temen gengku berkumpul.
Aku berjalan dengan langkah gontai, teringat lagi kata-kata Agus tadi. Ulfa, gadis lembut nan ayu di tambah dengan otaknya yang jenius dan akhlaknya yang terkenal santun. “ah…..Agus…. ! kutarik nafas dalam-dalam, dadaku terasa sesak kalau aku teringat kata-kata Agus. Langkah kakiku terasa berat, kulayangkan pandangan sekeliling jalan. Tatapanku tertuju pada benda putih yang ada tulisan, surat cinta, bukan, tepatnya puisi cinta. “ sepertinya aku tahu tuliasan ini, tulisan siapa ya..? “ gumanku. Ku baca tulisan itu baris demi baris, mesra sekali, mengisahkan seorang yang sedang jatuh cinta, tapi belum sempat di ungkapkan, karena orang itu merasa segan. Aku terharu membacanya, kucari pengarang puisi itu,ternyata. Astaghfirullah…. Di sudut kanan kertas itu ada nama pengarangnya, Ulfa, ya, Ulfa, aku ta’ menyangka kalau ini puisi Ulfa, karna selama ini aku belum pernah melihat Ulfa puisi, ku lipat kembali kertas itu, lalu ku masukkan ke sakuku, ku urungkan niat untuk pergi ke tempat geng, langkahku berbelok kekiri menuju kerumah Ulfa untuk mengembalikan kertas ini. Begutu sampai dirumah Ulfa aku langsung mengucapkan salam.
“ Assalamualaikum “. “ Waalaikumsalam “ jawab seseorang yang sudah tidak asing lagi bagiku. Aku menuggu didepan pintu sambil memperhatikan bunga anggrek di dalam pot hitam, tak lama kemudian pintu terbuka. “ Assalamualaikum “ salamku lagi. “ eh, emm… Waalaikumsalam “ jawab Ulfa gugup sambil menyembunyikan sesuatu di balik punggungnya. “ lagi ngapain de’ “ . Tanyaku basa-basi, karna tiba-tiba ada hawa dingin merasuk dalam tubuhku. “Gak ngapa-ngapain kok kak, cuman lagi cored-cored aja. “. “om dan tante di mana?”. “ ada diruang tengah, lagi nonton. Silahkan duduk kak! “ katanya sambil meletakkan bukunya diatas meja. Akupun duduk dikursi berhadapan dengan Ulfa, kami diam dan saling menunduk, sesekali kuperhatikan wajah Ulfa, cantik, memancarkan aura seorang perempuan yang sempurna, sifatnya yang pemalu dan penuh sopan santun semakin membuat hatuku berdebar-debar.
“ eh, nak dimas tumben malam-malam kesini “. Lamunanku buyar seketika mendengar sapaan mama Ulfa dari balik pintu diruang tengah. “ eh, ia tante, anu, ini mau pinjam buku sama adek Ulfa kemaren saya lupa tidak nyatet.” Jawabku sekenanya. “ Oo gitu, loh Ulfa, kok kakaknya tidak diberi minum ?” “ ia ma, lupa “ jawab Ulfa sambil tersenyum dan segera bangkit. “ Nak dimas, tante tinggal dulu ya “ “ iya tante “ jawabku lega. Aku duduk sendirian diruang tamu, kulihat buku Ulfa yang ada diatas meja, ada keinginan untuk melihatnya, kuraih buku itu , di sampul buku itu tertara BUKU HARIAN. Aku ragu untuk membukanya, ku lihat lagi sampul buku itu, disudut atas sampul ada tulisan “ DIFA “ siapa difa ? ku beranikan untuk membuka buku itu, baru saja aku membuka sampulnya. “ jangan-jangan di buka kak “ tiba-tiba Ulfa dating membawa nampan. Spontan aku menutup buku itu “ kenapa dik ?” “ itu buku pribadiku kak “ jawabnya lembut sambil meletakkan secangkir kopi di depanku. Ku letakkan buku itu di tempatnya semula. “ silahkan minum kak “ “ makasih dek “ “ kata kakak tadi mau pinjam buku, buku apa kak ?” mendengar pertanyaan Ulfa aku tersipu karena tadi kau menjawab sekenanya. “ lho kok diam “ “ anu dik, sebenanya aku bukan mau pinjam buku, sebenarnya aku….em…” “ em….. tapi adek janji dulu gak akan marah “ “ oke, Ulfa janji “ ujarnya sambil tersenyum.
Sebenarnya kakak….” Kutarik nafas “ kakak Cuma mau bilang kalau kakak suka sama adek “. Sekatika tubuhku terasa ringan seakan bebas dari beban berton-ton. Tidak ada tanggapan dari Ulfa, dia hanya menunduk sambil memainkan bukunya. Pikiranku tiba-tiba tidak enak aku merasa telah menjadi seorang penghianat bagi sahabatku sendiri, Agus. Tapi aku tidak bias membohongi perasaanku sendiri.
“kenapa dek ?” tanyaku menghilangkan kesenyapan, tapi Ulfa tetap tidak bereaksi. “ dek kakak tidak butuh jawaban adek, kakak sudah merasa cukup dengan terungkapnya perasaan ini, karena kakak sadar sepertinya adek sudah punya pilihan sendiri “ lanjutku lirih. Mendengar pernyataanku, Ulfa mendongakkan kepalanya. “ kenapa kakak bilang seperti itu “ suara Ulfa parau “ ini dek “ kusodorkan kertas yang kutemukan tadi. Ulfa terbelalak melihat itu, segera dia mengambil dari tanganku. “ dari mana kakak mendapatkan kertas ini ?” suara Ulfa meninggi, sepertinya agak marah.
“ Jangan marah dulu dek “ kakak temukan itu ditengah jalan dekat markaz “ mata Ulfa berkaca-kaca, entah apa yang ada dalam pikirannya. “ maafin kakak dek, kalau terlalu lancing mencintai adek, sekali lagi maafin kakak, kakak pulang dulu, semoga adek menemukan kebahagian dengan pilihan adek “aku segera bangkit. Tanpa terasa ada yang menetes disudut mataku. Ku tinggalkan Ulfa yang masih menunduk “maafin kakak dek “ gumanku. “ kak “ langkahku terhenti ketika hamper mencapai pintu. “ aku akan menjawab sekarang, aku tidak ingin hal ini menjadi bebanku, begitu juga kakak “kata Ulfa sambil mengusap air matanya. Ciut sudah nyaliku mendengar kata-kata Ulfa, kecil sudah harapanku untuk memilikinya. Kuberanikan untuk menatap wajahnya.
“ kak, apakah kakak benar-bebar mencintai Ulfa ?” “ kenapa adek bicara seperti itu, aku sangat mencintai adek. Tapi, aku…aku….tidak ingin merusak kebahagian adek.” Suaraku serak, rasanya ada yang tersangkut dalam tenggorokanku. “ apakah kakak bilang karna kertas ini ?” Tanya Ulfa sambil memperlihatkan kertas yang kutemukan. “ iya dek “ jawabku singkat. “ kalau memeng karna kertas ini, baiklah, aku akan memberikan kertas ini sama…kakak “. Kata Ulfa sambil berusaha tersenyum. Dia menyodorkan kertas itu kepadaku. Rasa tak percaya menghantui pikiranku. Dengan penuh keraguan aku ambil kertas itu.
“ kenapa kakak ragu ? sudah lama aku menuggu kejujuran kakak, karna aku tau kakak mencintaiku, dengan sikap kakak, cara kakak menatapku, akupun merasakan hal yang sam seperti kakak, tapi sebagai seorang perempuan tidak mungkin aku mengatakan duluan.” Ulfa diam sejenak.
“ kalau kakak masih ragu silahkan buka buku ini “lanjutnya sambil mengulurkan buku yang ada diatas meja. Ku ambil buku itu. “ di sudut kiri atas ada tulisannya kak “ “ iya aku tau difa kan?” “ tapi kakak tidak tau apa itu Difa “. Aku terdiam. “ silahkan buka kak “ akupun mengikuti perintah Ulfa. Aku terbelalak membaca tulisan dibalik sampul itu, nyaris air mataku tumpah karena terharu, jantungku berdebar-debar. Aku benar-benar tidak menyangka. Tulisa DIFA ternyata singkatan Dimas dan Ulfa. Namaku dan namanya.
“ sudah kak “ katanya tersipu. Kutatap wajah Ulfa lekat-lekat, wajahnya merah merona , ingin rasanya kau memeluknya, tapi….ah….Ulfa ! kau belum halal bagiku. Wajah Ulfa makin merona katika aku semakin lekat memandangnya, jiwaku terasa melayang-layang.
Setelah hitungan hari bulan silih berganti, sekarang aku dan Ulfa mulai merajut benang-benang cinta, saat dedaunan melambaikan tangan, sebagai restu tuk mengabdikan cinta, angin sepoi-sepoi turut menyaksikan kami yang ditawan cinta, bunga mawarpun yang kuncup menjadi melar dengan bersatunya kita.
Disaat aku ngumpul sama geng “BENALU” tiba-tiba hend-phoneku berbunyi, kulihat tertara tate Aiysah mamanya Ulfa, tanpa berpikir panjang ku angkat telepon dari tante Aisyah.
“ Nak, Ulfa ada dirunah sakit , sekarang dia sakit keras “ ujar tante Aisyah dengan suara lirih. “ apa…… Ulfa sakit tante ?” tanyaku dengan rasa takpercaya. “ iya nak, Ulfa sakit keras cepat kesini “ jawab tante Aisyah meyakinkan.
Betapa terkejutnya aku mendengar penuturan itu sehingga tak terasa air mataku menetes dengan sendirinya.
Lalu aku bergegas meuju kerumah sakit, tanpa menghiraukan teman-temanku, setibanya dirumah sakit Ulfa sedang berbaring dikamar darurat “RSUD SUTOMO” karang manjangan Surabaya.
Dengan tetesan air mata aku memeluk Ulfa. Dokter keluar dari ruangan darurat itu, aku segera menghampirinya laksana kilat menyambar, lalu ku menanyakan. “ bagaimana kondisi Ulfa dok ?” dokter diam sejenak, dengan menarik nafas dalam-dalam akhirnya dokterpun berkata “ maaf anak muda, kami menolong kondisi Ulfa, karena penyakitnya liver ditambah serangan jantung, sekali lagi kami mohon maaf.” Setelah dokter usai berkata aku di tinggalkannya. Dengan perasaan yang takkaruan aku mendekati mayat Ulfayang sudah terkujur kaku, saat itu pula rasanya kau tidak punya kekuatan, karena redup bersama derita cinta, sampai-sampai dunia di sekelilingku menjadi gelap.
Oleh : Umam Munaji
C-04
0 komentar:
Posting Komentar