Sabtu, 07 Februari 2015

Hati yang Bocoro (Cerpen mading demangan news Edisi 23)

Hati Yang Bocor

Aku kenal  Dina dari Twitter. Berawal dari saling mention tweet, kami menjadi begitu dekat. Hingga kami putuskan untuk kopi darat. Sebenarnya ia juga satu sekolah denganku. Hanya saja sekolahku terlalu besar, jadi sulit bagiku untuk bertemu dengannya.
Aku sendiri adalah anak seorang tukang tambal Ban di daerah Sampang. Tapi aku masih bisa bersekolah di salah satu SMK Negeri di Surabaya.
Teman-temanku di SMK mayoritas anak orang kaya. Minimal anak pegawai negeri lah. Hingga aku malu untuk mengakui status orang tuaku. Aku juga malu jika gayaku kampungan. Aku selalu ingin tampil keren dan modis di depan teman-temanku. Apalagi bisa dibilang mukaku cukup ganteng.
Malam minggu aku janjian dengan Dina di salah satu kafe di daerah Waru. Tak terlalu lama menunggu, Dina tiba. Ia langsung duduk di sampingku setelah melihatku duduk di salah satu meja di tengah ruangan.
“Udah lama nunggunya Fa? Maaf yah, aku telat. Taxi yang aku tumpangi tadi lemot.” ucap Dina membuka pembicaraan
“Oh gak papa kok. Aku baru 10 menit nungguin kamu. Hmmm…. Ternyata cantikan aslinya yah daripada yang di foto.”
“Hehe, bisa aja kamu. Kamu kelas berapa sih? Aku kok gak pernah liat kamu di sekolah.”
“Kita sama-sama kelas 12 kok. Cuma aku di RPL (Rekayasa Perangkat Lunak) kelas kita jauh, makanya gak bisa ketemu.” jawabku.
”Oh, pantesan. Hmmm… kamu asli mana?”
“Aku orang Bangkalan. Itu, tempat besi tua. Orang-orang banyak tahu kok.”
Obrolan kami pun mengalir. Tak terasa 2 cangkir green tea tandas kami minum. Kami saling tanya mengenai pribadi masing-masing. SDnya dimana, kost dimana, suka warna apa, dan masih banyak lagi.
Jam 9 Dina memutuskan untuk pulang. Aku mengantarnya dengan motor CBR  yang aku pinjam dari anak tuan kostku. Kebetulan aku akrab sekali dengannya.
Dua bulan hubungan kami makin dekat. Hingga aku berani mengutarakan perasaanku padanya. Ia pun menerimaku. Ya, segampang itu. Aku juga heran.
Satu minggu aku jadian dengannya, ia mengajakku berakhir pekan di Kenjeran. Aku menyanggupinya. Tapi masalahnya bajuku itu-itu saja. Aku ingin yang baru dan tampil lebih baik di depan Dina. Akhirnya aku menelepon ke rumah untuk meminta kiriman uang.
“Pak, minggu nanti aku ada acara sekolah di Kenjeran. Aku perlu uang lebih.” pintaku.
“Loh? Uang bulanan 2 minggu lalu udah habis cong?”

            “Ya ada pak. Tapi tinggal sedikit. Ini acara sekolah, makanya aku perlu.” tambahku.
“Ya udah cong, paling lambat hari sabtu bapak kirim ke ATMmu. Kalo sekarang belum ada. Adikmu masih perlu buat bayar SPP.”
“Waduh pak. Aku nanti telat yang mau beli bahan praktikum.”
“Sekarang bapak masih belum ada cong. Ya udah gini aja, jum’at insya Allah bapak kirim.”
“Ya udah lah pak. Aku tunggu Jum’at.”
Sempat terlintas rasa bersalah di benakku. Tapi mau bagaimana lagi? Aku takut pacarku, bahkan teman-temanku menjauh jika penampilanku tidak gaul.
Minggu pun tiba. Aku dikirimi uang oleh bapak pada hari jum’at. Tapi pada malam harinya, jadi capek nunggu dari pagi ngecek ATM. Walau hanya dua ratus ribu, cukuplah untuk membeli baju di distro.
Aku berangkat ke Kenjeran memakai motor CBR anak tuan kostku lagi. Dina sebelumnya menelepon dan menawarkan untuk mebawa mobil jazznya. Tapi aku menolak, agar aku terlihat gentle.
Seperti umumnya muda-mudi baru jadian, kami bersuka ria di sana. Kami disana sampai sore hari. Hampir maghrib baru kami pulang.
Ketika kami tiba di pagar rumahnya, ia berkata bahwa ia bahagia sekali hari ini. Ia juga ingin berakhir pekan lagi denganku, tapi di tempat yang berbeda. Aku hanya mengangguk disertai dengan senyuman. Dan satu yang mebuat hatiku berdebar-debar dan bahagia. Ia memberikan sun jauh di pipi kananku. Kemudian ia langsung berlalu masuk ke dalam rumahnya. Aku hanya bisa bengong, itu yang pertama bagiku.
Aku pun kembali ke kosan dengan hati berbunga-bunga. Yah, itu untuk pertama kalinya. Bahkan aku sulit tidur gara-gara kejadian tadi sore. Begitu indah tak terperi.
.........
Aku jatuh sakit. Mungkin kurang istirahat. Aku putuskan untuk pulang ke Sampang. Sebelumnya aku sudah bilang pada Dina bahwa aku tidak bisa berakhir pekan dengannya minggu ini. Ia tanya kenapa. Aku jawab banyak tugas. Ia menerima. Aku juga ijin ke sekolah dua hari, jum’at dan sabtu. Jadi aku bisa sekalian liburan di rumah.
Tiba di rumah, aku disambut dengan wajah cemas bapak dan ibu, karena sebelumnya aku sudah memberi kabar pada mereka. Mereka pun merawatku dengan penuh perhatian sehingga aku bisa sembuh dengan cepat. Hari sabtu kondisiku telah pulih. Aku pun membantu bapak bekerja walau hanya sedikit.
Minggu pagi aku mendengar kabar dari ibu bahwa ada kecelakaan tadi subuh di desa sebelah. Ibu menanak nasi dan aku membetulkan posisi kayu bakar, aku dan ibu bercakap-cakap. Tiba-tiba bapak masuk.
Cong bawakan air satu ember. Di depan ada mobil bannya bocor. Mungkin gara-gara pecahan kaca mobil yang kecelakaan tadi subuh.”
“Aku masih repot nih pak.”
“Sebentar saja cong. Ini bapak mau ngambil kompor.” Aku mengangguk. Bapakku kembali ke bengkel sambil membawa kompor untuk menambal ban.
Tanganku kotor oleh arang kayu bakar tadi. Wajahku juga kusam karena berada di depan tungku. Maklumlah orang susah, pakai kayu bakar.
Ketika aku keluar membawa ember, aku melihat dua cowok dan tiga cewek dari kejauhan. Kutafsir mereka adalah penumpang mobil yang bannya bocor. Aku jongkok memberikan ember pada bapak. Bapak juga bilang ternyata mereka adalah penumpang mobil yang mau jalan-jalan ke pantai Camplong.
Aku pun berdiri ingin masuk ke rumah lagi. Tiba-tiba salah satu dari cewek tadi mendekat.
“Masih lama mas?” suaranya tak asing bagiku.
Ternyata ia Dina. Aku kaget dan Dina kaget melihatku dan tampangku. Sejenak ia tertegun, kemudian tampaklah dari wajahnya ekspresi kesal dan marah. Terlontarlah kata-kata yang tak pernah kubayangkan darinya.
“Dasar kampung! Jadi kamu bohongin aku selama ini. Kamu bilang, kamu anak bos besi tua. Eh ternyata cuma anak tukang tambal ban. Aku gak percaya lagi sama kamu. Kita putus!”
Kalimat itu ia ucapkan di depan bapakku. Seketika aku diam. Tak kuasa kumenahan amarah, malu, dan sesal yang bercampur.
Aku marah karena ia mengucapkan itu di depan bapak. Aku malu karena ia mempermalukan aku di depan bapak. Bapakku nanar menatapku, matanya merah menahan amarah. Dina telah pergi bersama teman-temannya. Aku hanya bisa tertegun dan menunduk.
Tiba-tiba flashback masa kecilku berhamburan di benakku. Aku ternyata gengsi mengaku pada teman-temanku tentang bapak. Bapak yang dengan ikhlas mengayuh sepeda sejauh dua kilometer hanya untuk mengantarku ke SD. Bapak yang rela bangun tengah malam untuk mengantarkanku ke kamar kecil karena aku takut. Bapakku yang rela diterpa asap knalpot, rela tangannya berlumpur oli, rela terlentang di bawah mobil, rela berpanas-panas di samping jalan protokol hanya demi aku, ya, hanya demi aku, demi pendidikanku.
Seketika aku sadar, aku tetaplah anak bapakku, anak tukang tambal ban, tak akan berubah. Bapakku berlalu ke dalam rumah. Kulihat sekilas, ada sedikit genangan air mata di ujung pelupuk matanya. Hatiku ngilu, aku telah menyakiti hatinya.

By: @anshorif

0 komentar:

Posting Komentar