Kamis, 04 September 2014

Seputih Kasih ( Cerpen Demangan news Pondok pesantren syaichona Moh. Cholil)



 
Kasih melipat mukena putihnya, dan segera beranjak dari mushola. Ia berjalan menuruni tangga kantor tempatnya bekerja untuk Keluar dan pulang. Hari ini begitu melelahkan bagi gadis 21 tahun itu. Tugas-tugas kantor begitu menumpuk, belum lagi ditambah omelan atasan yang hari ini sepertinya sedang terkena virus emosi. Semua karyawan di kantor tahu betul big boss mereka itu sedang menghadapi rumah tangga yang kabarnya tinggal di ujung tanduk. Disenggol sedikit, bisa jatuh dan hancur. Alhasil, semua karyawanlah yang ujung-ujungnya menjadi pelampiasan amarah.
Kasih berdiri di ujung jalan sambil menunggu sebuah taksi yang akan membawanya ke rumah. Tiba-tiba saja kedua mata cokelat gadis itu tertuju pada pemandangan yang tidak mengenakkan di seberang sana. Kasih berniat untuk menghampirinya, karena menurutnya itu sudah melewati batas kewajaran.
“Astaghfirullahaladzim, Kakak! Apa yang Kakak lakukan di pinggir jalan seperti ini?”
Serentak, dua orang manusia yang sedang dimabuk cinta itu melepaskan pelukannya dan menatap siapa yang menegur mereka. Wajah perempuan muda itu sangat kaget dengan gadis berjilbab dihadapannya. Sementara pria yang bersamanya hanya diam tidak mengerti.
“Kak, ini sudah keterlaluan..!”
“Apa urusanmu? Mengganggu saja!” jawabnya tak peduli.
“Kak, ayo kita pulang”
“Kalau mau pulang, pulang saja sendiri. Kakak masih ada urusan,” jawabnya kemudian pergi begitu saja meninggalkan Kasih yang masih berdiri di situ. Dilihatnya dari jauh sang kakak yang bergelayut manja pada pria entah berantah itu.
Di tengah kegelapan malam seperti ini, Kasih hanya bisa meneteskan air mata melihat kondisi itu. Hampir setiap hari, dia memergoki tindakan berlebihan kakaknya itu, dengan pria yang selalu berlainan. Dan jawaban yang selalu ia dapat dari menegur kakaknya itu selalu sama.
Gaya hidup jaman sekaranglah, cara modern pacaran masa kinilah, dan berpuluh-puluh alasan lain yang menurutnya sangat tidak rasional. Kasih hanya bisa mengelus dada setiap kali kakaknya itu menyudutkannya. Pikirannya terbang ke beberapa hari yang lalu, saat kakaknya itu melontarkan sebuah kalimat yang menusuk ulu hatinya.
“Sudahlah, kamu jangan sok suci. Jangan sok menasehati kakak. Kamu itu bukan siapa-siapa di sini. Kamu itu cuma anak pungut!”
Terkadang Kasih bertanya-tanya kesalahan apa yang pernah dibuatnya, sehingga kakaknya itu begitu tega memuntahkan perkataan-perkataan yang sangat menyakitkan.

* * *

Kasih melahap subuh dalam dua rakaat seraya mengirim sepucuk doa untuk keluarganya tercinta. Terutama kakak yang selalu memusuhinya. Semoga Allah senantiasa merangkul dan mencintainya.
Setelah selesai, Kasih membangunkan Rima, untuk sholat subuh. Dengan hati-hati, Kasih menepuk-nepukkan tangannya ke pundak Rima.
“Kak, bangun, Kak! Sudah waktunya sholat subuh!” kata Kasih pelan. Berulang kali Kasih membangunkan kakaknya itu, tapi sepertinya tidak berhasil. Ia mencoba sekali lagi, dan yang ia dapat hanyalah sebuah semburan keras dari kakaknya.
“Kamu ngapain sih, bangunin kakak. Nggak tahu apa, ini jam berapa? Sudah Kakak bilang, kamu nggak usah sok ngurusin kakak. Nggak usah sok peduli. Sekarang, kamu pergi dari kamar kakak!”
Kasih melangkahkan kakinya dengan berat hati. Yah, perlakuan seperti ini sudah menjadi makanannya setiap hari. Tapi ia tidak akan menyerah begitu saja, untuk menyadarkan kakaknya. Setelah mandi dan berganti pakaian kerja, Kasih menyiapkan sarapan untuk semua orang rumah.
“Kasih, Kamu yang menyiapkan semua sarapan ini, nak?” tanya Ibu yang tiba-tiba muncul.
“Iya, Bu…”
Kemudian Ibu membangunkan seluruh penghuni rumah untuk sarapan pagi bersama. Suasana di pagi itu begitu hening. Tidak ada satu kata pun terucap dari bibir setiap anggotanya. Yang tampak hanyalah tatapan mata Rima yang berulangkali memandangnya penuh kebencian.
“Bu, Kasih berangkat kerja dulu ya,” pamit Kasih pada kedua orang tuanya.
“Hati-hati ya, Nak”
“Kasih, cari duit yang banyak!  Aku bosan hidup miskin kayak gini terus!”
Sontak Kasih menoleh, mendengar apa yang diucapkan kakaknya, Rima.
“Rima! Jaga mulut kamu! Seharusnya kamu sadar, kalau Kasih yang menghidupi keluarga kita. Kalau bukan karena dia, kita semua tidak bisa makan. Dan kalau bukan karena dia, kamu tidak bisa membeli semua tetek bengek yang kamu perlukan itu. Kamu yang anak kandung ibu, malah tidak bisa membahagiakan ibu sedikit pun. Kerjamu apa selama ini? Menghambur-hamburkan uang untuk berfoya-foya dengan semua laki-laki? Pacaran dan pacaran setiap hari? Dan sekarang kamu hanya menuntut ini-itu seenak dengkulmu?” kata ibu penuh amarah menghadapi sikap anak perempuannya itu.
Kasih hanya menunduk, tidak enak pada Rima yang dari tadi melemparkan pandangannya yang tajam seperti ujung tombak yang siap menusuk mangsanya.
“Bu, Kasih memang sudah seharusnya melakukan itu. Dia kan hanya anak pungut, sudah seharusnya dia membalas jasa kepada keluarga kita!” kata Rima kasar.
PLAKKK
Sebuah tamparan keras mencium pipi kanan Rima.
“Lalu, apakah kamu sebagai anak kandung ibu sudah membalas jasamu sebagai anak? Jaga bicaramu, Rima! Dan jangan sekali-kali kamu menyebut Kasih, anak pungut!”
Rima meninggalkan ruang makan dengan penuh kekesalan, dan membanting pintu kamarnya dengan kuat. Ibu memeluk Kasih, yang sedari tadi menumpahkan air mata bening dari kedua kelopaknya.

* * *

“Kasih, tunggu!” Kasih menoleh ke arah sumber suara saat seseorang memanggil namanya.
“Kuantar pulang, ya? Sudah malam.”
“Maaf, tidak perlu repot-repot, Rey. Aku sudah biasa pulang sendiri”
“Tapi ini sudah larut. Kalau ada apa-apa denganmu di jalan bagaimana?”
“Insyaallah, Allah akan mengirimkan malaikatnya untuk menolong saya. Permisi…”
Reyhan menatap gadis yang dicintainya itu perlahan menjauh pergi. Seorang gadis yang sangat menjaga prinsip dan komitmennya dalam hidup. Seorang gadis yang mampu menjaga kehormatannya sebagai wanita. Seorang gadis yang ikhlas dan apa adanya dalam menjalani kehidupan. Seorang gadis yang sangat mencintai Tuhannya. Seorang gadis yang sangat berbakti kepada kedua orangtuanya. Seorang gadis yang mampu menyihirnya, di setiap tutur kata yang menghangatkan jiwa. Seorang gadis yang mampu menyejukkan hatinya, di setiap senyum yang tertarik dari bibirnya.
Reyhan mengaguminya. Bahkan lebih dari itu. Dia mencintainya.
Kasih berjalan di persimpangan jalan. Entah mengapa, dia merasa sangat takut saat ini. Suasana malam yang sepi, dan dingin yang menusuk sampai ke lapisan dermis kulitnya. Berulangkali mulutnya mengucap istighfar.
Tiba-tiba saja, segerombolan laki-laki bengis berbadan besar dengan botol bir di tangannya, menghadang langkah Kasih.
“Hei, sendirian aja… mau kita temenin?” goda salah satu dari mereka sambil berjalan mendekatinya.
Kasih berusaha menghindar. Saat melihat ada celah kosong, tanpa berpikir panjang, ia langsung berlari menuju jalan kecil di sudut gedung. Tapi tiba-tiba saja, sebuah batu hitam besar membuatnya tersandung dan terjatuh. Kasih benar-benar tidak bisa berbuat apa-apa kali ini. Yang ada di hatinya adalah semua bentuk doa yang terpanjat untuk Sang Khalik.
Kasih menutup matanya saat melihat bayangan laki-laki biadab itu mulai mendekatinya. Tapi kemudian, Kasih mendengar suara rintihan dari beberapa laki-laki itu. Dengan cepat Kasih membuka matanya dan melihat apa yang ada di hadapannya saat ini. Segerombolan laki-laki itu pergi menjauh sambil memegangi bagian tubuh mereka yang memar akibat terkena bogem mentah.
“Reyhan?” Kasih tidak percaya siapa yang datang menolongnya.
“Kamu tidak pa pa, kan?” Kasih mengangguk sambil membangunkan tubuhnya untuk berdiri. Ternyata, dialah malaikat yang diutus Allah untuk menolongnya. Kasih berulangkali mengucap syukur atas perlindungan yang telah didapatkannya malam itu.

* * *
PLAKKK.
Kali ini sebuah tamparan keras dari bapak mendarat di pipi Rima yang putih mulus. Kasih yang baru datang pulang kerja, sangat kaget melihat aura kemurkaan kedua orangtua angkatnya itu, pada anak kandung mereka. Kasih mengucap salam dengan pelan, dan masuk ke rumah dengan langkah yang ragu.
“Sekarang katakan, siapa yang telah menghamili kamu…?” tanya bapak penuh amarah. Wajahnya merah padam, penuh emosi. Sementara Rima hanya bisa diam sambil menangis sesenggukkan.
“Rima nggak tahu, Pak…”
“Apa karena banyaknya laki-laki yang meniduri kamu, sampai-sampai kamu tidak tahu siapa yang menghamili kamu, hah!”
Rima bersujud di kaki bapak dan ibu sambil memohon maaf. Kasih masih terdiam, belum sanggup berkata-kata. Hatinya miris dan pilu. Dalam dadanya, tersisip perasaan menyesal karena tidak sanggup menjaga kakaknya itu. Kasih ingin memeluk Rima, tapi apa daya kalau gadis itu menepis tangannya.
Rima berjalan menuju kamarnya dengan napas yang tersenggal-senggal. Sementara ibu menangis dalam diam, dan bapak yang masih dalam kondisi emosi sambil memegangi pelipisnya. Kasih sangat takut dan khawatir dengan keadaan kakaknya itu. Ia takut kalau Rima tidak sanggup menerima semuanya.

* * *

            Tujuh bulan sudah masa kehamilan Rima. Wajahnya semakin kurus dan rapuh. Kasih sangat cemas dengan kondisi kakaknya dan bayi yang dikandungnya itu. Beberapa kali ibu membujuk anak perempuannya itu untuk memeriksakan kandungannya ke dokter, tetapi Rima selalu menolaknya. Hari ini, suhu tubuh Rima sangat tinggi. Sepanjang hari ia mengigau tidak keruan. Kasih mengompres badan Rima yang tertidur lemas.

* * *

“Assalamualaikum,” sapa Kasih saat memasuki rumahnya.
Pandangannya terpaku pada beberapa orang yang menyambutnya dengan senyum ramah.
“Ini ya, yang namanya Kasih. Cantik sekali,” kata seorang wanita yang berumur sekitar lima puluh tahunan.
         “Sini nak, masuk,” kata ibu menyuruh Kasih masuk dan duduk bergabung bersama mereka.
Kenapa ada Reyhan dan keluarganya di sini? Hatinya bertanya-tanya.
Kasih mencoba membaca situasi yang sedang terjadi kini. Ibu menjelaskan kepada Kasih, maksud kedatangan keluarga Reyhan kerumahnya. Feeling-nya benar. Reyhan melamarnya.
Semua orang di ruangan itu menunggu jawaban Kasih. Sedangkan dirinya, masih menimbang-nimbang jawaban apa yang harus diberikan. Ya Allah, semoga keputusanku benar. Semoga dia benar-benar malaikat yang Kau kirimkan untukku. Harapnya dalam hati.
“Insyaallah saya menerima,” jawabnya dengan pasti, diikuti dengan senyum kegembiraan dari semua pihak. Terutama Reyhan yang dari tadi memandang bidadari cantik yang akan menjadi calon istrinya itu.
Di tengah suasana yang membahagiakan itu, tiba-tiba saja terdengar rintihan kesakitan dari kamar Rima. Serentak semua orang berlari menuju kamarnya, dan melihat darah yang bergelimpangan di kasur Rima. Bapak langsung menelpon ambulance, dan beberapa menit kemudian Rima dibawa ke rumah sakit.
Sudah beberapa jam Rima berada di Unit Gawat Darurat. Dan dokter belum memberi kepastian apapun tentang kondisi Rima. Kasih dan keluarganya menunggu dengan sebelah hati. Kasih menenangkan ibu yang dari tadi menangis tiada henti.
Tidak beberapa lama kemudian, dokter keluar dengan wajah yang sulit ditafsirkan.
“Kami telah melakukan operasi cecar, dan anak ibu mengalami pendarahan. Anaknya selamat, dan saat ini kondisi ibunya sangat kritis. Bisa dipastikan tidak bisa selamat. Dari tadi dia menyebut nama Kasih”
Kasih mengusap wajahnya yang lembab dengan kedua tangannya. Dia berjalan masuk ke dalam ruang UGD dengan penuh kedukaan. Rima memandangnya dengan air mata yang berlinangan. Ia menarik tangan Kasih dalam genggamannya. Kasih mengusap air mata Rima, dan menyisihkan rambut yang menutupi wajahnya.
“Kasih, maafkan Kakak ya…”
“Sudahlah Kak, Kasih sudah melupakan semuanya dan memaafkan Kakak dari dulu.”
“Kasih, Kakak sudah tidak mungkin bisa bertahan lagi. Kakak punya satu permohonan. Maukah kamu merawat anak Kakak? Memberikannya kasih sayang? Menjadikannya seperti darah dagingmu sendiri?”
Kasih memeluk kakaknya itu sambil mengangguk dengan penuh keikhlasan. Rima menghembuskan napas terakhirnya dalam pelukan kasih sayang Kasih. Seputih Kasih, gadis kecil Rima tumbuh dengan keanggunan dan keikhlasan yang Maha Indah. Gadis kecil Rima tumbuh dengan melahirkan aura kesejukkan jiwa. Seputih Kasih. Sebening kasih sayang Kasih.

* * *

0 komentar:

Posting Komentar