Kasih
melipat mukena putihnya, dan segera beranjak dari mushola. Ia berjalan menuruni
tangga kantor tempatnya bekerja untuk Keluar
dan pulang. Hari ini begitu melelahkan bagi gadis 21 tahun itu. Tugas-tugas
kantor begitu menumpuk, belum lagi ditambah omelan atasan yang hari ini
sepertinya sedang terkena virus emosi. Semua karyawan di kantor tahu betul big boss mereka itu sedang menghadapi
rumah tangga yang kabarnya tinggal di ujung tanduk. Disenggol sedikit, bisa
jatuh dan hancur. Alhasil, semua karyawanlah yang ujung-ujungnya menjadi
pelampiasan amarah.
Kasih
berdiri di ujung jalan sambil menunggu sebuah taksi yang akan membawanya ke
rumah. Tiba-tiba saja kedua mata cokelat gadis itu tertuju pada pemandangan
yang tidak mengenakkan di seberang sana. Kasih berniat untuk menghampirinya,
karena menurutnya itu sudah melewati batas kewajaran.
“Astaghfirullahaladzim,
Kakak! Apa yang Kakak lakukan di pinggir jalan seperti ini?”
Serentak,
dua orang manusia yang sedang dimabuk cinta itu melepaskan pelukannya dan
menatap siapa yang menegur mereka. Wajah perempuan muda itu sangat kaget dengan
gadis berjilbab dihadapannya. Sementara pria yang bersamanya hanya diam tidak
mengerti.
“Kak,
ini sudah keterlaluan..!”
“Apa
urusanmu? Mengganggu saja!” jawabnya tak peduli.
“Kak,
ayo kita pulang”
“Kalau
mau pulang, pulang saja sendiri. Kakak masih ada urusan,” jawabnya kemudian
pergi begitu saja meninggalkan Kasih yang masih berdiri di situ. Dilihatnya
dari jauh sang kakak yang bergelayut manja pada pria entah berantah itu.
Di
tengah kegelapan malam seperti ini, Kasih hanya bisa meneteskan air mata
melihat kondisi itu. Hampir setiap hari, dia memergoki tindakan berlebihan
kakaknya itu, dengan pria yang selalu berlainan. Dan jawaban yang selalu ia
dapat dari menegur kakaknya itu selalu sama.
Gaya
hidup jaman sekaranglah, cara modern pacaran masa kinilah, dan berpuluh-puluh
alasan lain yang menurutnya sangat tidak rasional. Kasih hanya bisa mengelus
dada setiap kali kakaknya itu menyudutkannya. Pikirannya terbang ke beberapa
hari yang lalu, saat kakaknya itu melontarkan sebuah kalimat yang menusuk ulu
hatinya.
“Sudahlah,
kamu jangan sok suci. Jangan sok menasehati kakak. Kamu itu bukan siapa-siapa
di sini. Kamu itu cuma anak pungut!”
Terkadang
Kasih bertanya-tanya kesalahan apa yang pernah dibuatnya, sehingga kakaknya itu
begitu tega memuntahkan perkataan-perkataan yang sangat menyakitkan.
* * *
Kasih
melahap subuh dalam dua rakaat seraya mengirim sepucuk doa untuk keluarganya
tercinta. Terutama kakak yang selalu memusuhinya. Semoga Allah senantiasa
merangkul dan mencintainya.
Setelah
selesai, Kasih membangunkan Rima, untuk sholat subuh. Dengan hati-hati, Kasih
menepuk-nepukkan tangannya ke pundak Rima.
“Kak,
bangun, Kak! Sudah waktunya sholat subuh!” kata Kasih pelan. Berulang kali
Kasih membangunkan kakaknya itu, tapi sepertinya tidak berhasil. Ia mencoba
sekali lagi, dan yang ia dapat hanyalah sebuah semburan keras dari kakaknya.
“Kamu
ngapain sih, bangunin kakak. Nggak tahu apa, ini jam berapa? Sudah Kakak
bilang, kamu nggak usah sok ngurusin kakak. Nggak usah sok peduli. Sekarang,
kamu pergi dari kamar kakak!”
Kasih
melangkahkan kakinya dengan berat hati. Yah, perlakuan seperti ini sudah
menjadi makanannya setiap hari. Tapi ia tidak akan menyerah begitu saja, untuk menyadarkan
kakaknya. Setelah mandi dan berganti pakaian kerja, Kasih menyiapkan sarapan
untuk semua orang rumah.
“Kasih,
Kamu yang menyiapkan semua sarapan ini, nak?” tanya Ibu yang tiba-tiba muncul.
“Iya,
Bu…”
Kemudian
Ibu membangunkan seluruh penghuni rumah untuk sarapan pagi bersama. Suasana di
pagi itu begitu hening. Tidak ada satu kata pun terucap dari bibir setiap
anggotanya. Yang tampak hanyalah tatapan mata Rima yang berulangkali
memandangnya penuh kebencian.
“Bu,
Kasih berangkat kerja dulu ya,” pamit Kasih pada kedua orang tuanya.
“Hati-hati
ya, Nak”
“Kasih,
cari duit yang banyak! Aku bosan hidup
miskin kayak gini terus!”
Sontak
Kasih menoleh, mendengar apa yang diucapkan kakaknya, Rima.
“Rima!
Jaga mulut kamu! Seharusnya kamu sadar, kalau Kasih yang menghidupi keluarga
kita. Kalau bukan karena dia, kita semua tidak bisa makan. Dan kalau bukan
karena dia, kamu tidak bisa membeli semua tetek
bengek yang kamu perlukan itu. Kamu yang anak kandung ibu, malah tidak bisa
membahagiakan ibu sedikit pun. Kerjamu apa selama ini? Menghambur-hamburkan
uang untuk berfoya-foya dengan semua laki-laki? Pacaran dan pacaran setiap
hari? Dan sekarang kamu hanya menuntut ini-itu seenak dengkulmu?” kata ibu
penuh amarah menghadapi sikap anak perempuannya itu.
Kasih
hanya menunduk, tidak enak pada Rima yang dari tadi melemparkan pandangannya
yang tajam seperti ujung tombak yang siap menusuk mangsanya.
“Bu,
Kasih memang sudah seharusnya melakukan itu. Dia kan hanya anak pungut, sudah
seharusnya dia membalas jasa kepada keluarga kita!” kata Rima kasar.
PLAKKK
Sebuah
tamparan keras mencium pipi kanan Rima.
“Lalu,
apakah kamu sebagai anak kandung ibu sudah membalas jasamu sebagai anak? Jaga
bicaramu, Rima! Dan jangan sekali-kali kamu menyebut Kasih, anak pungut!”
Rima
meninggalkan ruang makan dengan penuh kekesalan, dan membanting pintu kamarnya
dengan kuat. Ibu memeluk Kasih, yang sedari tadi menumpahkan air mata bening
dari kedua kelopaknya.
* * *
“Kasih,
tunggu!” Kasih menoleh ke arah sumber suara saat seseorang memanggil namanya.
“Kuantar
pulang, ya? Sudah malam.”
“Maaf,
tidak perlu repot-repot, Rey. Aku sudah biasa pulang sendiri”
“Tapi
ini sudah larut. Kalau ada apa-apa denganmu di jalan bagaimana?”
“Insyaallah,
Allah akan mengirimkan malaikatnya untuk menolong saya. Permisi…”
Reyhan
menatap gadis yang dicintainya itu perlahan menjauh pergi. Seorang gadis yang
sangat menjaga prinsip dan komitmennya dalam hidup. Seorang gadis yang mampu
menjaga kehormatannya sebagai wanita. Seorang gadis yang ikhlas dan apa adanya
dalam menjalani kehidupan. Seorang gadis yang sangat mencintai Tuhannya.
Seorang gadis yang sangat berbakti kepada kedua orangtuanya. Seorang gadis yang
mampu menyihirnya, di setiap tutur kata yang menghangatkan jiwa. Seorang gadis
yang mampu menyejukkan hatinya, di setiap senyum yang tertarik dari bibirnya.
Reyhan
mengaguminya. Bahkan lebih dari itu. Dia mencintainya.
Kasih
berjalan di persimpangan jalan. Entah mengapa, dia merasa sangat takut saat
ini. Suasana malam yang sepi, dan dingin yang menusuk sampai ke lapisan dermis
kulitnya. Berulangkali mulutnya mengucap istighfar.
Tiba-tiba
saja, segerombolan laki-laki bengis berbadan besar dengan botol bir di
tangannya, menghadang langkah Kasih.
“Hei,
sendirian aja… mau kita temenin?” goda salah satu dari mereka sambil berjalan
mendekatinya.
Kasih
berusaha menghindar. Saat melihat ada celah kosong, tanpa berpikir panjang, ia
langsung berlari menuju jalan kecil di sudut gedung. Tapi tiba-tiba saja,
sebuah batu hitam besar membuatnya tersandung dan terjatuh. Kasih benar-benar
tidak bisa berbuat apa-apa kali ini. Yang ada di hatinya adalah semua bentuk
doa yang terpanjat untuk Sang Khalik.
Kasih
menutup matanya saat melihat bayangan laki-laki biadab itu mulai mendekatinya.
Tapi kemudian, Kasih mendengar suara rintihan dari beberapa laki-laki itu.
Dengan cepat Kasih membuka matanya dan melihat apa yang ada di hadapannya saat
ini. Segerombolan laki-laki itu pergi menjauh sambil memegangi bagian tubuh
mereka yang memar akibat terkena bogem mentah.
“Reyhan?”
Kasih tidak percaya siapa yang datang menolongnya.
“Kamu
tidak pa pa, kan?” Kasih mengangguk sambil membangunkan tubuhnya untuk berdiri.
Ternyata, dialah malaikat yang diutus Allah untuk menolongnya. Kasih
berulangkali mengucap syukur atas perlindungan yang telah didapatkannya malam
itu.
* * *
PLAKKK.
Kali
ini sebuah tamparan keras dari bapak mendarat di pipi Rima yang putih mulus.
Kasih yang baru datang pulang kerja, sangat kaget melihat aura kemurkaan kedua
orangtua angkatnya itu, pada anak kandung mereka. Kasih mengucap salam dengan
pelan, dan masuk ke rumah dengan langkah yang ragu.
“Sekarang
katakan, siapa yang telah menghamili kamu…?” tanya bapak penuh amarah. Wajahnya
merah padam, penuh emosi. Sementara Rima hanya bisa diam sambil menangis
sesenggukkan.
“Rima
nggak tahu, Pak…”
“Apa
karena banyaknya laki-laki yang meniduri kamu, sampai-sampai kamu tidak tahu
siapa yang menghamili kamu, hah!”
Rima
bersujud di kaki bapak dan ibu sambil memohon maaf. Kasih masih terdiam, belum
sanggup berkata-kata. Hatinya miris dan pilu. Dalam dadanya, tersisip perasaan
menyesal karena tidak sanggup menjaga kakaknya itu. Kasih ingin memeluk Rima,
tapi apa daya kalau gadis itu menepis tangannya.
Rima
berjalan menuju kamarnya dengan napas yang tersenggal-senggal. Sementara ibu
menangis dalam diam, dan bapak yang masih dalam kondisi emosi sambil memegangi
pelipisnya. Kasih sangat takut dan khawatir dengan keadaan kakaknya itu. Ia
takut kalau Rima tidak sanggup menerima semuanya.
* * *
Tujuh bulan sudah masa kehamilan
Rima. Wajahnya semakin kurus dan rapuh. Kasih sangat cemas dengan kondisi
kakaknya dan bayi yang dikandungnya itu. Beberapa kali ibu membujuk anak
perempuannya itu untuk memeriksakan kandungannya ke dokter, tetapi Rima selalu
menolaknya. Hari ini, suhu tubuh Rima sangat tinggi. Sepanjang hari ia mengigau
tidak keruan. Kasih mengompres badan Rima yang tertidur lemas.
* * *
“Assalamualaikum,”
sapa Kasih saat memasuki rumahnya.
Pandangannya
terpaku pada beberapa orang yang menyambutnya dengan senyum ramah.
“Ini
ya, yang namanya Kasih. Cantik sekali,” kata seorang wanita yang berumur
sekitar lima puluh tahunan.
“Sini
nak, masuk,” kata ibu menyuruh Kasih masuk dan duduk bergabung bersama mereka.
Kenapa
ada Reyhan dan keluarganya di sini? Hatinya bertanya-tanya.
Kasih
mencoba membaca situasi yang sedang terjadi kini. Ibu menjelaskan kepada Kasih,
maksud kedatangan keluarga Reyhan kerumahnya. Feeling-nya benar. Reyhan melamarnya.
Semua
orang di ruangan itu menunggu jawaban Kasih. Sedangkan dirinya, masih
menimbang-nimbang jawaban apa yang harus diberikan. Ya Allah, semoga
keputusanku benar. Semoga dia benar-benar malaikat yang Kau kirimkan untukku.
Harapnya dalam hati.
“Insyaallah
saya menerima,” jawabnya dengan pasti, diikuti dengan senyum kegembiraan dari
semua pihak. Terutama Reyhan yang dari tadi memandang bidadari cantik yang akan
menjadi calon istrinya itu.
Di
tengah suasana yang membahagiakan itu, tiba-tiba saja terdengar rintihan
kesakitan dari kamar Rima. Serentak semua orang berlari menuju kamarnya, dan
melihat darah yang bergelimpangan di kasur Rima. Bapak langsung menelpon ambulance, dan beberapa menit kemudian
Rima dibawa ke rumah sakit.
Sudah
beberapa jam Rima berada di Unit Gawat Darurat. Dan dokter belum memberi
kepastian apapun tentang kondisi Rima. Kasih dan keluarganya menunggu dengan
sebelah hati. Kasih menenangkan ibu yang dari tadi menangis tiada henti.
Tidak
beberapa lama kemudian, dokter keluar dengan wajah yang sulit ditafsirkan.
“Kami
telah melakukan operasi cecar, dan
anak ibu mengalami pendarahan. Anaknya selamat, dan saat ini kondisi ibunya
sangat kritis. Bisa dipastikan tidak bisa selamat. Dari tadi dia menyebut nama
Kasih”
Kasih
mengusap wajahnya yang lembab dengan kedua tangannya. Dia berjalan masuk ke
dalam ruang UGD dengan penuh kedukaan. Rima memandangnya dengan air mata yang
berlinangan. Ia menarik tangan Kasih dalam genggamannya. Kasih mengusap air
mata Rima, dan menyisihkan rambut yang menutupi wajahnya.
“Kasih,
maafkan Kakak ya…”
“Sudahlah
Kak, Kasih sudah melupakan semuanya dan memaafkan Kakak dari dulu.”
“Kasih,
Kakak sudah tidak mungkin bisa bertahan lagi. Kakak punya satu permohonan.
Maukah kamu merawat anak Kakak? Memberikannya kasih sayang? Menjadikannya
seperti darah dagingmu sendiri?”
Kasih
memeluk kakaknya itu sambil mengangguk dengan penuh keikhlasan. Rima
menghembuskan napas terakhirnya dalam pelukan kasih sayang Kasih. Seputih
Kasih, gadis kecil Rima tumbuh dengan keanggunan dan keikhlasan yang Maha
Indah. Gadis kecil Rima tumbuh dengan melahirkan aura kesejukkan jiwa. Seputih
Kasih. Sebening kasih sayang Kasih.
* * *